Rukun iman pertama yang wajib diyakini oleh seluruh muslim sebagai syarat keislamannya adalah beriman kepada Allah. Iman kepada Allah maksudnya adalah :
Tentang keberadaan Allah, maka sungguh merupakan hal yang tidak akan mungkin dipungkiri kecuali oleh mereka yang sombong mempertahankan pengingkarannya. Alam raya yang membentang dengan seluruh instrument yang ada didalamnya berupa kehidupan dan makhluk yang menjalaninya adalah bukti keberadaan Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Allah berfirman;
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”. (Al Baqarah; 164)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.”. (Yunus; 67)
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ تَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (3) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ (4) وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ (5) وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ (6) وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (7) وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (8) وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ (9) هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ (10) يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (11) وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (12) وَمَا ذَرَأَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَذَّكَّرُونَ (13) وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (14) وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (15) وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ (16) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لَا يَخْلُقُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (17) وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (18)
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan. Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata. Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya. Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar). Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya). Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. (An Nahl; 3-18)
Demikianlah sedikit diantara tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah yang begitu jelas bagaikan matahari di tengah hari yang sangat terik. Tidaklah yang mengingkarinya melainkan seorang yang sombong, dan kesombongannya telah menutup seluruh celah masuknya hidayah ke dalam hatinya. Allah berfirman;
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”. (An Naml; 14). Tentang sifat sombong, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mendefesinikannya;
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah tidak mau mengakui kebenaran dan meremehkan manusia.”. (HR. Muslim). Tentang akibatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga barangsiapa yang ada kesombongan dalam hatinya meski seberat biji dzarrah.”. (HR. Muslim)
Diantara makna beriman kepada Allah adalah meyakini keberhakan Allah sebagai satu-satunya sembahan yang benar, dan seluruh sembahan selain Nya adalah sembahan-sembahan bathil.
Perlu diingat dan diketahui bahwa asal keberadaan manusia itu adalah terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu agama yang benar, agama yang berlandaskan tauhid, tiada sembahan yang benar melainkan Allah sendirinya.
Demikianlah agama yang dianut oleh nabiullah Adam ‘alaihissalam dan diwarisi oleh anak keturunannya hingga 10 abad lamanya. Setelah itu, pada masa nabiullah Nuh ‘alaihissalam, terjadilah awal penyimpangan tauhid. Olehnya, Allah mengutus dan mengangkat Nuh ‘alaihissalam sebagai rasul pertama untuk kembali meluruskan orang-orang yang menyimpang dari tauhid, yang merupakan fitrah mereka. Tentang itu, Allah berfirman;
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah itu timbullah perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan.”. (Al Baqarah; 213). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata;
كَانَ بَيْنَ آدَمَ، وَنُوحٍ عَشَرَةُ قُرُونٍ كُلُّهُمْ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْحَقِّ، فَلَمَّا اخْتَلَفُوا بَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ وَأَنْزَلَ كِتَابَهُ
“Interval waktu antara nabiullah Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam adalah sepuluh abad. Seluruh manusia ketika itu berada dalam syari’at yang benar (fitrah/islam/tauhid). Maka ketika mereka telah berselisih (menyimpang dari tauhid), saat itulah Allah mengutus para nabi dan rasul, serta menurunkan kitab Nya”. (HR. Hakim)
Lantas bagaimana kisah awal terjadinya penyimpangan itu ?
Di masa nabiullah Nuh ‘alaihissalam hiduplah beberapa orang shaleh (wad, suwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr) yang sangat disegani dan menjadi panutan. Ketika wafat, datanglah syaithan berwujud manusia kepada orang-orang. Syaithan itu berkata (seakan memberi nasehat); dirikanlah patung orang-orang shaleh tersebut agar kalian dapat selalu mengenang kebaikannya dan mempertahankan serta meningkatkan keshalehan kalian setiap kali melihat patung dari tokoh-tokoh tersebut dan mengenang keshalehan mereka.
Mendengar masukan tersebut, mereka pun menanggapinya sebagai sesuatu yang positif dan akhirnya mereka dirikan patung tokoh-tokoh shaleh itu dengan tujuan seperti yang disebutkan.
Pada perkembangan selanjutnya, terjadilah rotasi manusia dari generasi ke generasi, hingga tibalah masa dimana orang-orang tidak lagi mengetahui tujuan awal didirikannya patung-patung itu. Ketika itu datanglah syaithan (kembali) dengan wujud manusia dan berkata kepada mereka, bahwa nenek moyang kalian dahulu mendirikan patung-patung itu agar kalian sembah.
Mendapat informasi seperti itu dan ditambah ketidaktahuan mereka akan tujuan didirikannya patung-patung tersebut serta merebaknya kebodohan terhadap agama, mereka pun lantas menyembahnya. Demikianlah perlahan demi perlahan syaithan menggelincirkan manusia dari tauhid yang merupakan fitrah manusia. Dan setelah itu, Allah kemudian mengangkat Nuh ‘alaihissalam sebagai Rasul pertama untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu tauhid (meyakini bahwa satu-satunya sembahan yang benar adalah Allah ta’ala semata).
Peristiwa tersebut Allah ta’ala abadikan lewat firman Nya dalam surah Nuh. Allah berfirman;
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (1) قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (2) أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ (3)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”. Nuh berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu. (Yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.”. (Nuh; 1-3). Dalam beberapa ayat selanjutnya Allah berfirman;
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا (21) وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا (22) وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا (23) وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا (24)
“Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Sungguh mereka telah melakukan tipu-daya yang amat besar”. Dan mereka berkata (kepada orang-orang): “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa´, yaghuts, ya´uq dan nasr”. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”. (Nuh; 21-24)
Diantara makna besar dan bahkan paling esensi dari beriman kepada Allah adalah pengakuan bahwa satu-satunya Dzat Yang berhak disembah hanyalah Allah, dan bahwa sembahan-sembahan lain adalah sembahan yang bathil. Demikian inilah makna kalimat “Laailaaha illallah”, kalimat yang menjadi sebab utama ditolaknya dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh masyarakat kafir pada saat itu dan hingga hari kiamat, yang selanjutnya terdokumentasikan secara jelas lewat pernyataan Abu Lahab;
تَبًّا لَكَ، أَلِهَذَا جَمَعْتَنَا؟
“Celakalah engkau wahai Muhammad, apakah untuk menyampaikan risalahmu ini kamu mengumpulkan kami ?!.”.
Pengakuan manusia akan keberadaan Tuhan pencipta alam semesta adalah fitrah manusia, sebagaimana telah dibahas pada ulasan sebelumnya. Bahkan mereka yang mengingkarinya, pun sesungguhnya mengakui hal tersebut. Tidaklah pengingkaran mereka itu timbul melainkan karena kesombongannya. Allah berfirman;
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”. (An Naml; 14)
Pengakuan para pengingkar keberadaan Tuhan ini biasanya akan nampak secara spontan ketika mereka berada dalam kondisi-kondisi tertentu (dalam kondisi terdesak). Munculnya pengakuan tersebut merupakan indikator yang jelas akan adanya fitrah kemanusiaan yang telah tertanam dalam diri mereka. Dan betapapun upaya yang mereka coba lakukan untuk melenyapkan fitrah tersebut, tidaklah mereka akan sanggup melakukannya. Allah berfirman;
وَإِذَا غَشِيَهُمْ مَوْجٌ كَالظُّلَلِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ فَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ
“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.”. (Lukman; 32)
وَلَوْ رَحِمْنَاهُمْ وَكَشَفْنَا مَا بِهِمْ مِنْ ضُرٍّ لَلَجُّوا فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (75) وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ (76) حَتَّى إِذَا فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا ذَا عَذَابٍ شَدِيدٍ إِذَا هُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ
“Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka alami, benar-benar mereka akan terus menerus terombang-ambing dalam perbuatan melampaui batas mereka. Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu tempat azab yang amat sangat (di waktu itulah) tiba-tiba mereka menjadi putus asa.”. (Al Mukminun; 75-77)
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ (65) لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ وَلِيَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). Agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).”. (Al Ankabuut; 65-66)
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ (90) آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir´aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir´aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (dengan mengangkat diri sebagai Tuhan dan berbuat dzhalim).”. (Yunus; 90-91)
Demikianlah sedikit contoh akan fitrah yang telah tertanam dalam diri setiap insan. Dan betapapun ia coba untuk mengubur fitrah tersebut, mereka tidak akan mampu melakukannya.
Terkait dengan fitrah tersebut, manusia terbagi menjadi tiga golongan;
1. Mereka yang beriman, tetap berada dalam fitrah itu.
2. Mereka yang mengingkari fitrah tersebut (kafir)
3. Mereka yang mengakui adanya Tuhan, namun mereka mengangkat tuhan-tuhan lain sebagai tandingan bagi Tuhan yang sesungguhnya.
Dari ketiga golongan tersebut, kelompok yang selamat dan tetap berjalan pada fitrahnya hanyalah kelompok yang pertama. Dan untuk mengembalikan dua kelompok menyimpang lainnya kepada fitrah manusia yang sesungguhnya, maka Allah pun mengutus para Rasul. Itulah tugas utama seluruh Rasul yang Allah utus ke muka bumi ini. Allah berfirman;
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.”. (Al Anbiyaa’; ayat; 25)
Demikianlah tugas pokok seluruh Rasul, termasuk Rasul terakhir yaitu Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam; menyeru manusia untuk beriman kepada Allah sebagai satu-satunya sembahan yang benar. Dan mengingatkan mereka bahwa seluruh sembahan selain Allah adalah sembahan-sembahan yang bathil.
Demikianlah makna yang paling esensi dari beriman kepada Allah ta’ala.
Diantara makna besar dari beriman kepada Allah adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat Yang memiliki nama dan sifat-sifat Yang Maha Sempurna. Dan tidak satupun selain Nya yang serupa dengan Nya.
Bila ditanyakan : bagaimana seorang dapat mengetahui nama dan sifat-sifat Allah ?.
Jawabannya adalah satu-satunya cara untuk dapat mengenal Allah dengan nama dan sifat-sifat yang dimilikiNya adalah melalui informasi valid tentang Nya. Tidak ada seorang pun yang melihat Allah di dunia. Maka satu-satunya cara untuk dapat mengenalNya adalah sebagaimana yang disampaikan sebelumnya.
Tentang kaidah umum dalam memahami nama dan sifat Allah, maka sebagaimana firman Nya;
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (Al Ikhlash; 4)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”. (As Syuura; 11)
Dari kedua ayat ini dipahami bahwa Allah adalah Dzat Yang tidak serupa dengan satupun selain Nya. Ia adalah Dzat Yang Maha Sempurna; Maha sempurna Nama dan Sifat-sifat Nya. Diantara nama dan sifat-sifat Nya adalah As Sami’e (Maha Mendengar) dan Al Bashiir (Maha Melihat).
Demikianlah kaidah umum yang wajib diyakini oleh seorang muslim berkenaan dengan nama dan sifat-sifat Allah. Wajib ia terapkan pada seluruh keterangan baik dari Al Quran maupun sunnah yang menyebutkan tentang nama dan sifat-sifat Allah. Tidak boleh menyimpang dari ketentuan umum ini kecuali terdapat dalil valid yang menyimpangkannya.
Ketika Ia berfirman : “Ia adalah Dzat Yang Maha Melihat”, maka wajib bagi setiap muslim meyakini hal tersebut sesuai dengan makna dasarnya (tentu dalam bahasa Arab). Dan tidak dibenarkan bagi siapapun menafikan atau mentakwil (melencengkan) ayat itu dari makna dasarnya tanpa ada keterangan valid yang menjadi acuan hal tersebut. Orang-orang yang menyimpangkannya, maka Allah berfirman mengingatkan mereka :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut dan meyakini) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”. (Al A’raaf; 180)
Diantara manusia ada kelompok yang menyatakan bahwa menetapkan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri secara tekstual adalah sama dengan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Pernyataan ini sama sekali tidaklah benar. Yang dimaksud dengan perbuatan seorang menyamakan sifat Allah dengan manusia adalah ketika orang itu berkata, “tangan Allah sama dengan tanganku, bersemayamnya Allah sama dengan cara bersemayamku, cara berkatanya Allah sama dengan caraku berkata, dan yang semisal.”. Cara pandang demikian tidak benar. Cara pandang seperti ini dinamakan tasybih atau tajsim. Dan kelompok atau orang yang meyakininya dinamakan musyabbih atau mujassim.
Cara pandang yang benar adalah meyakini seluruh informasi Allah tentang diri-Nya sendiri secara tekstual sebagaimana yang Ia sampaikan. Karena Allah menurunkan al Quran dengan bahasa Arab yang fasih, dan disampaikan kepada kita oleh Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- juga dengan bahasa Arab yang fasih. Dan merupakan hal yang mustahil bagi Allah, jika Ia menginformasikan sesuatu yang sifatnya sangat mendasar dan prinsip dengan bahasa atau penafsiran yang hanya dipahami oleh segolongan orang tertentu saja.
Olehnya ketika semua orang sepakat menyatakan bahwa Allah itu ada (wujud). Maka tidaklah keyakinan itu dapat dibatalkan dengan dalih bahwa manusia juga adalah makhluk yang wujud, karenanya tidak boleh menetapkan sifat tersebut bagi Allah.
Ketika semua orang sepakat menyatakan bahwa Allah itu adalah Dzat yang melihat dan mendengar, maka tidaklah keyakinan ini dapat dibatalkan dengan dalih bahwa manusia adalah makhluk yang juga melihat dan mendengar, dan karenanya tidak boleh menetapkan sifat tersebut bagi Allah.
Maka,
*) jika seluruh manusia telah sepakat menetapkan bagi Allah sifat wujud, sifat mendengar dan melihat,
*) Dan mereka pun telah sepakat menyatakan bahwa sifat-sifat itu juga dimiliki oleh manusia,
*) Sebagaimana mereka pun telah sepakat menyatakan bahwa wujud, pendengaran, dan penglihatan Allah adalah wujud, pendengaran, dan penglihatan yang maha sempurna; sedangkan wujud, pendengaran, dan penglihatan makhluk adalah wujud, pendengaran, dan penglihatan yang terbatas;
(maka) tahulah kita bahwa kesamaan nama tidaklah berkonsekwensi wajib pada kesamaan sifat.
Demikianlah keyakinan ahlussunnah wal jamaáh dalam masalah nama dan sifat-sifat Allah. Mereka meyakini secara tekstual seluruh informasi Allah tentang diri-Nya sendiri, demikian juga seluruh informasi shahih dari Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- berkenaan dengan itu, dengan satu landasan pemahaman, sebagaimana yang digariskan oleh Allah;
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada satupun yang serupa dengan Allah. Dan Dia adalah Dzat yang maha mendengar lagi maha melihat.”. (as Syüraa; 11)
Telah diulas sebelumnya tentang kewajiban seorang mukmin berkenaan dengan nama dan sifat-sifat Allah, yaitu meyakininya secara tekstual tanpa menafikan dan tanpa mengalihkannya dari makna dasar yang dimilikinya.
Satu diantara contoh sifat Allah adalah bersemayam di atas ‘Arsy (al istiwa’). Pernyataan ini didasarkan dari berbagai keterangan yang menyebutkan keberadaan Allah di atas langit dan bersemayam di atas ‘Arsy. Allah berfirman;
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ´Arsy.”. (Thaaha; 5). Dan diantara bukti yang menyatakan keberadaan Allah di atas langit adalah peristiwa isra’ dan mi’raj, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan ke langit ke tujuh menemui Allah dan mendapatkan perintah shalat lima waktu.
Terkait dengan sifat Allah, bersemayam di atas ‘Arsy, diantara manusia ada kelompok yang menolak makna tekstual dari berbagai keterangan yang menyebutkan bahwa Ia bersemayam di atas ársy, yang berada di langit. Dasar pemikiran mereka bahwa ;
*) Dengan menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, berarti seorang telah membatasi Allah, berada di atas makhluk Nya yang terbatas.
*) Dengan menyatakan bahwa Allah berada di langit, berarti seorang telah membatasi Allah berada di arah (al jihah) tertentu.
*) Dengan menyatakan bahwa Allah berada di langit, di atas Arsy Nya, berarti secara tersirat ia telah menyatakan bahwa Allah butuh terhadap makhluk-Nya; karena langit dan Arsy adalah makhluk Allah.
Maka atas dasar tiga pertimbangan itu mereka meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang wujud (ada) tetapi tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di atas dan tidak pula di bawah; Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Tanggapan ;
1. Siapupun di dunia ini, jika diminta untuk meyakini keberadaan sesuatu, pasti akan bertanya; “Apa sesuatu itu dan di mana ia berada ?!.”.
Bila demikian, adakah mungkin seorang akan beriman kepada Allah, tatkala mendengar bahwa Tuhan yang hendak diimaninya itu adalah sesuatu yang ada (wujud), tetapi tanpa diketahui keberadaan-Nya ?!. Logika apa yang bisa digunakan untuk membenarkan keyakinan seperti ini ?!.
Keberadaan Allah di atas langit sudah menjadi fitrah manusia. Olehnya, ketika anda sengaja mendatangi beberapa anak kecil dan bertanya kepada mereka, “Nak, Allah itu ada di mana sih ?.”. Dengan segela kepolosan mereka, dijawabnya pertanyaan itu; “Di langit … , di atas …. , di surga”. Subhanallah, maha suci Engkau ya Allah, yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya, mengakui keberadaan Mu di tempat yang maha tinggi.
Jangankan mereka -dengan segala kepolosan dan keluguannya-; Firáun –simbol pembangkangan, kedzhaliman, dan kesombongan- pun secara tidak disadarinya mengakui keberadaan Tuhannya Musa di atas langit. Hal ini nampak ketika Ia dengan penuh keangkuhannya menyuruh para tentaranya untuk membangun tangga hingga ke langit agar dapat melihat sendiri Allah –Tuhannya nabiullah Musa álaihissaläm-. Allah berfirman;
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَاأَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَاهَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan berkata Fir´aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (Al Qashash; 38)
Demikianlah fitrah yang Allah jadikan dalam diri manusia. Sesombong dan seangkuh apapun, pasti ia akan mengakui keberadaan Allah di tempat yang maha tinggi. Allah berfirman tentang Firáun dan orang-orang seperti mereka ;
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka ingkari Allah dengan segala kebesaran dan tanda-tanda keberadaan Nya, semata karena kesombongan, meski hati-hati kecil mereka mengakuinya.”. (An Naml; 14)
2. “Mereka yang menyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, yang berada di atas langit, secara tersirat menyatakan bahwa Allah butuh kepada makhluk-Nya, sebagai tempat bersemayam-Nya.”. Jika logika seperti ini dapat kita gunakan untuk menafikan keterangan jelas dari Allah, yang menyatakan bahwa Ia bersemayam di atas Arsy; lantas haruskah kita juga menafikan keberadaan para malaikat, yang sebagiannya Allah tugaskan untuk menjaga neraka, menjaga surga, membagikan rezki, mencatat kegiatan hamba, memberikan wahyu, mencabut nyawa, dan seterusnya. Apakah Allah menciptakan mereka semua, karena Ia berhajat kepadanya ?!.
Tentu seorang mukmin akan berkata, “tidak”. Maka sebagaimana seorang mukmin wajib meyakini bahwa Allah telah mencipatakan para malaikat itu karena hikmah yang diketahuinya dan bukan karena hajat Nya kepada mereka; demikianlah pula seorang mukmin wajib meyakini bahwa Allah telah menciptakan langit dan Arsy, dan Ia telah menetapkan bahwa Dirinya Yang Maha Mulia bersemayam di atas Arsy, dengan cara bersemayam yang sesuai dengan ke Mahabesaran dan ke Mahaagungan Nya, tidak satupun makhluk yang serupa dengan Nya. Ia menciptakan langit, Arsy, para malaikat dan seluruh makhluk karena hikmah Nya dan bukan karena hajat Nya kepada mereka.
3. Seluruh kaum muslimin meyakini bahwa Allah adalah Dzat yang telah ada sebelum keberadaan seluruh makhluk ciptaan Nya. Ketika Allah menciptakan makhluk yang pertama, bukankah makhluk itu berada di suatu tempat, di luar Dzat Allah ?. Lantas di manakah Allah ketika itu ?!. Jawaban sederhananya adalah Ia berada di luar makhluk pertama ciptaan-Nya itu.
Keberadaan Allah di luar makhluk ciptaan-Nya, itulah yang dimaksud dengan “al makaan” (tempat) dan atau “al jihah” (arah). Keduanya bukanlah makhluk. Tetapi keduanya ada sebagai konsukwensi lazim dari keberadaan (wujud) Allah.
Selain itu, “tempat” dan “arah” mungkin juga diartikan sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagai ruang dan dimensi untuk membatasi ruang gerak makhluk-Nya. “Tempat” dan “arah” dalam arti yang kedua ini memiliki batasan berbeda sesuai dengan makhluk yang menggunakannya. “Tempat” dan “arah” yang berlaku di alam manusia, di dunia adalah lebih sempit dari pada “Tempat” dan “arah” yang berlaku bagi mereka ketika telah berada di alam barzakh. “Tempat” dan “arah” yang berlaku di alam manusia di dunia adalah lebih sempit dari “Tempat” dan “arah” yang berlaku bagi jin di alam mereka. “Tempat” dan “arah” yang berlaku bagi jin di alam mereka adalah lebih sempit dari “Tempat” dan “arah” yang berlaku di alam malaikat, di sisi Allah. Inilah “Tempat” dan “arah” yang merupakan makhluk ciptaan Allah. Dan seluruh kaum muslimin sepakat menafikan keberadaan Allah pada “Tempat” dan “arah” dalam pengertian yang ke-2 ini.
Adapun “Tempat” dan “arah” dalam pengertian yang pertama, maka hal itu adalah merupakan hal lazim yang pasti mengiringi keberadaan sesuatu. Karenanya, merupakan hal mustahil jika seorang meyakini keberadaan sesuatu tanpa arah dan tempat. Dan olehnya itu pula, ulama berkata bahwa barangsiapa menyatakan bahwa Tuhannya ada tanpa tempat dan arah, maka ia sebenarnya menyembah hal yang tidak wujud dan hanya ada dalam alam khayalnya belaka.